Wednesday, October 31, 2007

Kakekku dan Ayam Sang Kolonel




Pada suatu hari di Libur lebaran tahun 2007, saya mengajak kakekku yang baru datang dari Krian sebuah kota kecil di Jawa Timur, berjalan-jalan ke sebuah mall besar di Kota Bandung. Suasana mall yang cukup besar dan luas tersebut sangat ramai, karena di Mall ada sebuah Hypermarket asal Perancis. Kakekku itu ingin melihat seperti apa "Toko Kelontong Gedhe yang Segala Ada" demikian beliau menyebut hypermarket besar itu.

Setelah lelah berjalan-jalan dan berputar-putar di dalam mall, perut kami berdua mulai merengek minta diisi. Saya kemudian mengajak kakek ke gerai fast food "M" yang menyajikan burger. Karena penuh, maka kami terpaksa menunggu untuk mendapatkan tempat duduk. Sambil menunggu, saya bertanya pada kakekku itu, kira-kiranya apa yang hendak beliau pesan untuk disantap. Tanpa melihat daftar menu yang terdapat diatas kasir, beliau dengan mantap langsung menyebutkan "Ayam aja.. le", "Nggak mau nyoba Hamburger Mbah ?" tanyaku lagi... "Nggak le...udah si Mbah ayam aja" jawab si Mbah. Akhirnya, kami memesan ayam goreng krispi yang tampak sedikit hitam.

Esok harinya, Kakkeku itu mengajak jalan-jalan lagi, kali ini beliau saya ajak ke pusat elektronik terbesar di Kota Bandung. Setelah terheran-heran melihat "TV setipis triplek" dan terkaget-kager ketika dikejutkan oleh suara menggelegar yang keluar dari seperangkat High end Home Theatre, yang sedang didemokan, kemudian saya mengajak kakekku itu mampir ke sebuah
fastfood burger lagi, kali ini berinisial "W" yang berada tidak jauh dari tempat itu. Karena tidak begitu penuh, kami langsung dilayani oleh pelayannya. Ketika saya bertanya lagi hendak makan apa, sekali lagi dengan mantapnya kakekku menjawab, " Si Mbah ayam lagi ya le, tapi jangan yang kemelatak kayak kemarin.." "Lho, kemaren kan sudah ayam Mbah, mosok sekarang si Mbah mau ayam lagi ?" tanyaku mencoba untuk menawarkan alternatif. "Wes tho le, si Mbah ayam aja, soalnya si Mbah dari dulu sukanya Ayam..". Demikianlah, sekali lagi kami makan ayam goreng di resto cepat saji itu.

Dua hari kemudian, kami berjalan-jalan lagi, kali ini bersama sepupuku-sepupuku beserta Pakdhe dan Budeku yang datang menyusul dari Surabaya. Setelah berkeliling ke beberapa FO dan belanja brownies di sebuah toko kue terkenal di Jalan Dago Bandung, kami memutuskan untuk makan "Roti Italiano" di resto cepat saji "PH", yang berada di Jalan Dago. Karena resto itu sangat penuh, maka kami duduk-duduk di luar sambil menelaah daftar menu, mencoba untuk memilih kiranya topping apa yang cocok dengan selera kami sore itu. Ketika kakekku disodori daftar menu, dengan kening berkerut, beliau membalik-balik halaman demi halaman daftar menu itu dengan cepat, untuk kemudian disodorkan kembali kepada kami. "Ah, si Mbah kayaknya munek2 kalo makan yang beginian, si Mbah biasa saja lah... ayam aja seperti biasa, le". Lha, tentu saja kami menjadi bingung, karena di resto cepat saji yang satu ini tidak ada menu ayam, dan pada saat yang bersamaan, kami dipanggil masuk karena sudah ada meja yang kosong. Saya berembug sebentar dengan istri saya, pakde, budhe dan anak-anak. Akhirnya disepakati, kalau Istri, Pakde, Budhe, dan anak2 tetap makan di PH, sedangkan saya mengantarkan kakekku itu ke resto cepat saji "Sang Kolonel" yang berada tidak jauh dari PH. Tanpa bertanya lagi, saya langsung memesan 2 paket untuk saya dan kakekku itu. Setelah makan, tanpa diduga, ternyata kali ini kakekku minta tambah. Tidak tanggung-tanggung, si Mbah minta 2 dada ayam, dan langsung habis. Setelah "kelakaren" beberapa kali, sambil menepuk-nepuk perutnya, si Mbah tersenyum puas. "Nah kalo yang ini ayamnya enak. Si mbah suka ayam yang disini... uenak tenan..." ujarnya sambil tertawa... "Lha memang disini, jagonya ayam Mbah.." jawab saya sambil tertawa. "He ? Ayamnya ayam jago yang digoreng ??" tanya Kakekku sambil mengerutkan kening. Sebelum pulang, Si Mbah memintaku untuk membeli beberapa potong lagi, untuk dibawa ke rumah.

***

Fast food atau restoran cepat saji, mulai populer di Indonesia pada awal 1980-an. Sebagian besar fast food yang merambah pasar Indonesia berasal dari Amerika. Saat ini tercatat ada beberapa nama besar di dunia "Junk Food" Amerika, yang membuka gerai di Indonesia. Sebagai pelopor di Indonesia, adalah Ayam sang Kolonel, atau sering kita kenal sebagai "Kentucky Fried Chicken", meskipun di negara asalnya, gerai ini bernama "The Colonel". Pada jamannya, ketika gerai pertama Sang Kolonel buka di Jakarta, langsung menjadi trendsetter tersendiri ketika itu. Dulu sampai ada pendapat, belum gaul kalo belum makan di "Kentuki", demikian orang-orang dulu menyebutnya.

Bahkan setiap golongan masyarakat selalu menyempatkan dan "memaksakan" diri untuk bisa makan di resto cepat saji ini. Melihat animo masyarakat yang cukup besar terhadap gerai ayam cepat saji ini, direspon oleh beberapa pengusaha, dengan munculnya gerai-gerai serupa yang berusaha mengimitasi ayam "Kentuki" ini. Ada gerai yang memang berasal dari luar (biasanya dari Amerika), dan ada pula gerai lokalan, yang mengimitasi dengan memakai nama-nama kota di Amerika, seperti California, Texas, Washington, Chicago, dan Vegas. Seiring berjalannya waktu, beberapa bertahan, dan beberapa rontok. Namun, bagi sang pioneer, berkembangnya KFC, menjadi titik tolak perkembangan Fast Food di Indonesia, yang pada tahap berikutnya berhasil membuat image di setiap benak orang Indonesia (pada waktu itu) bahwa fast food adalah ayam. Ayam adalah fast food.

Disetujuinya aplikasi Mr. Bambang Rachmadi untuk mengageni waralaba McDonalds membawa babak baru dalam dunia fastfood Indonesia. Gerai pertama McD di Gd Sarinah Jakarta pada Februari 1991 sempat mengubah persepsi orang Indonesia, bahwa fastfood adalah ayam. Pada jaman itu, trendsetter adalah burger, BigMac, Cheese Burger, dan Beef Burger. Bukan lagi Original recipe, dan Crispy. Dan McD berjaya mengantarkan budaya Burger ke dalam menu masyarakat Urban di Indonesia. Kesuksesan McD ini ditunjang dengan murahnya harga burger McD saat itu, dan rasanya yang memberi pilihan baru bagi para penggemar fast food di Indonesia yang selama ini hanya disuguhi ayam dan ayam.

Namun, yang namanya Burger tentunya belum terlalu akrab dengan semua lidah orang Indonesia, dan budaya makan burger tentu saja belum terbentuk saat itu. Akhirnya manajemen McD berinisiatif untuk menambah menu, agar lebih banyak pelanggan dapat datang dan makan di gerai mereka. Pilihan mereka adalah : AYAM. Dengan pertimbangan, bahwa harga ayam saat itu masih terjangkau, dan masih menjadi menu favorit. Akhirnya, terjadilah sesuatu yang belum terjadi di McD manapun di dunia, McD menyuguhkan menu ayam di gerainya selain Burger. Dan karena persepsi yang sudah terlanjur terbentuk bagi orang Indonesia, bahwa Fastfood adalah ayam, maka kehadiran McD semakin populer dengan cepat, melalui menu barunya, McD Fried Chicken. Ketika Krisis Moneter dan jatuhnya nilai rupiah terhadap Dollar US mengacaukan perekonomian Indonesia, harga Burger McD yang saat itu sangat murah, tidak lagi dapat dipertahankan pada level "harga murah", dan burger McD pun menjadi mahal. Fried Chicken akhirnya malah menjadi sumber pemasukan utama, dan penyelamat bagi McD.

Masuknya beberapa nama Internasional ke dalam kancah franchise fast food di Indonesia seperti Arbys, A&W Burger, Burger King, dan Wendy's, yang semuanya adalah raja-raja Burger di negaranya, semakin meramaikan kancah fast food di Indonesia. Beberapa diantara mereka, menggunakan ide untuk menambah Menu Fried Chicken sebagai side menu, sebagai alternatif menu utama mereka, Burger. Walhasil, penjualan Fried Chicken di gerai-gerai fastfood yang sebetulnya tidak berspesialisasi pada ayam goreng menunjukkan angka yang memuaskan, bahkan jika dibandingkan dengan menu spesialisasi mereka. Mungkin anda juga sering mengunjungi gerai-gerai burger ini, dan mendapati bahwa sebagian besar pembeli lebih memilih fried chicken daripada membeli Burger. Hal ini semakin memantapkan image di dalam benak orang Indonesia, bahwa yang namanya fast food adalah Ayam Goreng...

***

Akhirnya, tiba juga waktu bagi Kakek, dan keluarga Pakdhe untuk pulang ke Krian. Saya mengantarkan mereka ke stasiun Bandung, karena mereka pulang ke Jawa Timur menggunakan KA. Argo Wilis. Di ruang tunggu Stasiun, si Mbah kasak-kusuk, kemudian berbisik di telinga saya, "Le, si Mbah pengen bawa bekel buat di sepur...keretanya kan sampe malem ya ?". "Monggo Mbah.." jawab saya. Dan kami pun menghampiri gerai Dunkin Donuts yang ada di ruang tunggu stasiun. "Silahkan, ada yang bisa dibantu Pak..." sapa sang pelayan dengan ramah, "Dik, saya minta ayam gorengnya ya dua... jangan yang kemelatak ya Dik..." jawab si Mbah dengan kalem...Tentu saja, sang pelayan langsung bengong. Dan saya hanya bisa tertawa. Oalaaaah si Mbah...si Mbah... !!!

Foto-foto didapat dari :
http://www.istockphoto.com/
http://chicago-typewriter.blogspot.com/

Tuesday, October 23, 2007

Menghargai Orang, Perlukah ??


Loe, gw, ente, kamu, memang paling enak dipakai dalam bahasa sehari-hari pergaulan. Tentunya sapaan ini dipanggilkan buat teman sebaya atau teman segank, yang emang bakalan jadi aneh, kalo kita memakai bahasa-bahasa yang formil untuk berkomunikasi dengan teman akrab/sebaya kita. Atau sekedar menyebut langsung nama teman kita, tanpa embel-embel Mas, Pak, Mbak dan sebagainya yang mungkin terkesan terlalu formil... "Bikin nggak akrab, begitu kalo pake Pak-pakan, atau mas-masan.." ujar seorang mahasiswa yang pernah saya tanyai pendapatnya.

Nah, dimanakah saat yang tepat kita menggunakan pemakaian Mas, Pak, Mbak, Ibu, ketika kita berkomunikasi dengan seseorang ? Beberapa orang yang pernah saya mintakan pendapat, mengatakan bahwa panggilan-panggilan tersebut tetap perlu, untuk mengesankan kepada orang tersebut bahwa kita menghargai mereka, dan dengan sendirinya mereka pun akan menghargai kita, tanpa harus menghilangkan faktor keakraban itu sendiri...

Kapan kita sebaiknya menggunakan sapaan Mas, Pak dan sebagainya itu ? Menurut Dr. Andi Abdul Muis seorang pakar Komunikasi, kita sebaiknya memakai sapaan tersebut pada kondisi2 sebagai berikut :
  1. Kita sadar orang yang kita ajak komunikasi jauh lebih tua dari kita, minimal perbedaannya adalah 5 tahun.
  2. Orang tersebut memiliki hubungan ke-senioritas-an dengan kita.
  3. Orang tersebut adalah orang yang memiliki hubungan vertika dengan kita, misalnya atasan, guru, dosen, tutor kita
  4. Orang tersebut adalah saudara dekat kita.
  5. Orang tersebut memang sudah terkenal dan pantas untuk kita hormati.
Bagaimana jika kita tidak membiasakan untuk melakukan 6 poin diatas ? Memang tidak ada sanksi yang bisa memaksa kita untuk membiasakan diri menggunakan panggilan-panggilan tersebut. Namun, sebaiknya, kita membiasakannya, untuk kebaikan kita sendiri.


Tampaknya mungkin hal ini sepele, namun bisa berakibat fatal kalau tidak dibiasakan dilakukan. Saya memiliki seorang teman. Katakanlah usahanya adalah sebuah bidang jasa di dunia per-internetan. Sang pengusaha ini masih muda sekali, katakanlah masih di awal usia 20-an. Kebiasaannya sejak dulu selalu memanggil nama langsung kepada orang-orang yang dikenalnya, bahkan jika orang tersebut jauh lebih tua. Dia bahkan memanggil suami kakaknya yang berbeda 15 tahun umurnya dengan dirinya secara langsung..."Dang...dang..." (Nama suami kakaknya adalah Dadang).

Karena kebiasaannya ini lah, usahanya sulit berkembang. Banyak rekannya yang berminat menggunakan jasa yang dijual teman saya ini, batal hanya karena, teman saya ini berkomunikasi selalu hanya memanggil nama saja, tanpa embel2, Mas, Pak, dan sebagainya. "Bagaimana Gus, jadi menggunakan jasa saya...?" demikian pernah saya dengar ia berbicara dengan seorang calon klien yang bernama Gusman, yang saya tahu persis umurnya 15 tahun lebih tua dari teman saya itu. Pak Gusman tampaknya tersinggung, dan dia membatalkan segala macam kerja sama yang sudah direncanakan bersama teman saya itu...

Sebenarnya, kebiasaan ini akan membuat kita juga dihargai oleh orang, minimal jika kita membiasakan memanggil mereka Mas/Mbak, pasti mereka juga akan memanggil kita dengan panggilan yang sama, memaki Mas/Pak/Mbak/Bu.... Berkesan Feodal ? Mungkin, tapi percayalah..., cara-cara berkomunikasi seperti inilah yang terbaik di Indonesia...

Polisi dan Warnet

Ini adalah sebuah kisah baru yang akan menjadi klasik. Bahwa Polisi Indonesia kini mempunyai musuh baru, yaitu Warnet. Lho, kok aneh ? Lha begitu kok kenyataannya. Berbagai resort di berbagai kota kini menargetkan Warnet-warnet sebagai Target Operasi. Waduh, apa warnet-warnet sekarang disamakan sama perampok, pencopet, preman dan garong ? Entah juga ya....

Dengan dalih merazia pemakaian software ilegal, Polisi-polisi pun merajalela memasuki warnet-warnet, membuat pemiliknya berdiri kaku gemetaran, bak maling ayam kepergok mengambil ayam Pak RT.

Kisah-kisah tak sedappun bermunculan dari kiprah razia ini. Tapi dari semua nya sebetulnya masih bisa ditarik kesimpulan, bahwa orientasinya tak lain adalah UUD.
Duit..duit... lagi-lagi uang....!!!

Bahwa warnet memakai software bodong untuk beroperasional adalah salah, itu betul. Bahwa membajak adalah sama dengan mencuri, betul juga, walaupun nggak sepenuhnya bisa di-amini 100%.

Satu kisah tidak sedap terjadi di Bandung belum lama ini. Sebuah warnet di bilangan Terusan kiaracondong didatangi oleh beberapa polisi dari Polsek (ya betul, Polsek !!) Kiaracondong. Seperti biasa sang pemilik ditanya ini itu mengenai keabsahan legalitas Microsoft WindowsXP yang dipakainya. Berhubung software bodong, akhirnya sang pemilik pun mengakui bahwa dia tidak memiliki legalitas apapun. Kemudian sang Polisi pun mulai membacakan "ayat-ayat" pasal2 KUHP mengenai kejahatan pembajakan software, dengan mengancam bahwa semua komputernya akan disita, dan sang pemilik akan ditahan. Selang beberapa menit, sang polisi pun mengajak si pemilik keluar, untuk mengadakan suatu "perundingan". Ternyata si Polisi menawarkan uang "penyelesaian masalah" sebanyak 5 juta rupiah ! "Gini aja deh Pak, Bapak bayar ke saya 5 juta, buat biaya sidangnya, nanti Bapak boleh bawa lagi komputernya, dan pake aja lagi windowsnya gak apa-apa kok, saya yang jamin..." Busyet Deh !!

Cerita lain yang terjadi, saya cuplik dari blog-nya Pak Adinoto, http://adinoto.org, ada sebuah perusahaan, pemiliknya adalah seorang yang sadar legalitas software adalah penting... Dia melengkapi semua softwarenya (Microsoft Based) dengan lisensi resmi. Namun, ketika sampai juga saatnya dirazia polisi, ada aja celah yang digunakan penegak2 hukum kita ini untuk mencari-cari kesalahan. : “Loh anda kan pake Microsoft Windows Home Edition, nah ini kan dipake di kantor, mana bisa pake versi Home Edition” Busyet deh sekali lagi... emang ada aturan Kalo windows Home edition nggak boleh dipake kerja ??? Aturan dari mana itu ?? Di EULA nya juga nggak ada ketentuan gitu.. Udah gitu polisinya lebih nyeleneh lagi... “Gini aja, situ bayar 12 juta cash, nah situ kan punya anjing, gua juga punya anjing seperti itu tapi betina (gua ga inget tipenya), nah bayar 12 juta cash saja sisanya tolong cariin jantannya sehingga gua bisa punya turunan anjing itu” Buset apaan nih maksudnya ? Lucu banget.

Di lain kota, Polisi merazia sebuah warnet game, karena kedapatan menggunakan XP illegal. Beberapa komputer disita sebagai barang bukti. Setelah disepakati tebusan yang diminta sekian juta, barang boleh diambil. Sayangnya ketika diambil, isinya udah nggak lengkap. Ada yang harddisknya ilang, DDR nya musnah, Mainboardnya raib... Di kota lain, ada juga warnet yang sudah berlegal ria masih juga kena gerebek sama aparat, sekali ini alasannya mereka nggak percaya kalo windowsXP original milik warnet tersebut bener2 asli.. karena nggak ada kotaknya... padahal CD Windowsnya asli berhologram, sertifikasi resmi, no. seri resmi. Jadi kotak pun ternyata penting !

Di lain kota lagi di daerah Jawa Tengah utara, ada warnet di sweeping meskipun semua windowsnya asli. Salahnya dimana ? Karena mereka nggak beli Windowsnya di kota dimana warnet tersebut berada, dan karena warnetnya nggak lapor-lapor ke polsek setempat waktu buka... lucu bukan ?

Ada satu cerita lucu, sepercik penyegar di udara mendung mengenai cerita sweepingan polisi ini. Masih di seputaran Depok kota, seorang pemilik warnet berinisiatif memasang skin/themes untuk windowsXP nya dengan themes Linux Ubuntu. Tadinya hanya sekedar iseng, tapi ternyata di kemudian hari hal itu menyelamatkan dirinya. Beberapa minggu kemudian, beberapa polisi datang ke warnetnya, seperti sudah kita ketahui bersama, hendak "ngobyek" menanyakan kelegalitasan system operasi warnet itu. Ketika mereka memeriksa komputer-komputer itu mereka bingung melihat "desktop aneh" yang tidak mereka jumpai di kantor mereka. Apalagi sang pemilik -yang menangkap gelagat bahwa Polisi kebingungan- langsung mengatakan "Kami nggak pake windows pak, tapi pake Linux, distro Ubuntu.." Kemudian bla..bla..bla.. menjelaskan mengenai apa itu Linux, apa itu opensource, apa itu... segala macam. Sang polisi tampak sakit kepala. kemudian cepat2 ngeloyor pergi setelah minta beberapa puluh ribu "uang rokok"...

***
Separah itukah aparat kita dalam menyikapi permasalahan HAKI di negara kita ? Sementara para penjual Software Ilegal dan Bajakan termasuk Microsoft Windows XP dan Vista, masih bebas beroperasi, bahkan di mall2 besar.. tentunya karena mereka sudah memberikan "pasokan-pasokan" dan "umpan-umpan manis" sehingga tidak diganggu gugat.... Bukankah jika ingin memerangi software ilegal harus dimulai dari pengedarnya ???




Wednesday, October 10, 2007

Kronologger Addict...

Sudah lebih 2 bulan ini, saya ketagihan sama situs yang satu ini. Dimaksudkan oleh Kukuh (sang Founder) sebagai alternatif blogging service, ternyata hasilnya malah lebih mengasyikkan daripada sekedar blogging Konvensional. Menggunakan format "micro blogging" sehingga posting hanya dibatasi 150 karakter, maka posting tentunya hanya singkat2 saja. Misalnya "Saya sedang makan di warung tegal", atau "Saya sedang mendengarkan dosen yang menyebalkan di ruang kuliah". Posting-posting singkat seperti itu. Tapi, yang membuat Kronologger mengasyikkan, adalah, posting2 yang kita post biasanya akan segera mendapat tanggapan dari para Kroner (istilah bagi para user Kronologger). Dan tentunya, tanggapan2 ini biasanya aneh-aneh, kalo nggak bisa dikatakan "nyeleneh". Tapi itulah yang membuat Micro Blog ini istimewa. Posting2 singkat ditanggapi oleh berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda pula. Jadinya, satu permasalahan bisa ditanggapi serius, atau malah dijadikan bahan bulan-bulanan. Singkatnya, kronologger ini seperti Blogger, Chating Room, dan Forum, dijadikan satu.

Feature yang sangat istimewa adalah, posting ke Kronologger ini bisa menggunakan Ponsel yang berkemampuan GPRS. Cukup mengetikkan http://kronologger.com/gprs sang user (yang sudah terdaftar di situs Kronologger) dapat menggunakan Ponselnya sebagai media pengirim posting ke situs Kronologger. Bahkan, dimungkinkan pula untuk mengirim Gambar (diistilahkan oleh para Kroner, skrinsyut, dari kata Screenshoot) untuk melengkapi posting kita. Benar2 mengagumkan dan mengasyikkan. Terlebih lagi, mulai beberapa hari ini, posting maupun reply bisa dilakukan melalui Yahoo Messenger.

Dengan kelebihan-kelebihan ini, tidak heran, jika para kroners semakin ketagihan. Ada beberapa kroners yang menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk membeli pulsa, agar bisa posting ke Kronologger ini, ada yang betah berjam-jam duduk di depan komputer kantornya, sekedar untuk memberi komentar berbagai macam posting dari rekan2 kroner lainnya.

Anda tertarik ? Silakan bergabung di http://kronologger.com, jika Anda ketagihan, berarti anda sudah di jalan yang benar !!