Friday, October 06, 2006

SELAMAT JALAN DEWI....

Rabu, 4 Oktober 2006, Jam 15.44 telpon berdering. Dering yang ternyata membawa berita duka. Widya, istriku, mengangkat telpon itu, dan segera mendapati bahwa orang yang sedang berbicara di seberang sana adalah Wenda, seorang rekan yang pernah bekerja pada kami, yang berusaha berbicara sambil menahan perasaan yang mendalam. "Teh...maaf mengganggu..." Katanya dalam bahasa Sunda, masih dengan nada yang tercekat. "Mung bade ngawartosan, Dewi ngantunkeun tadi tabuh 2 siang.." (Cuma mau memberi tau saja bahwa Dewi meninggal dunia, tadi siang jam 2).

Seketika itu juga Widya seperti disambar kilat di siang hari bolong. Berita yang sangat mengejutkan. Dewi adalah istri Wenda, yang sebetulnya sudah demikian dekat dengan keluarga kami, bahkan sudah kami anggap sebagai saudara. Keluarga Wenda, hampir semuanya pernah bekerja sejak bertahun2 lalu pada keluarga kami. Sehingga tidak heran, kalau mereka sudah seperti saudara bagi kami.

Dewi dan Wenda menikah pada April 2006, tidak lama sebelum kami menikah. Dan mereka sudah dikaruniai seorang putra, Fachry, yang baru saja menapakkan langkahnya di jenjang TK-B.

Adalah hal yang sangat mengagetkan, sekaligus juga cukup mengharukan. Bagaimana tidak, menurut Wenda, Dewi pada hari terakhirnya di rumah pada Selasa 3 Oktober 2006, tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, apalagi menderita suatu penyakit parah yang mematikan. Sebetulnya saat itu Dewi sedang hamil 4 bulan. Ketika di USG, ternyata anaknya kembar.

Pada hari itu Dewi beraktifitas seperti biasa. Menyediakan makanan untuk sahur suaminya, dan mengantar anaknya sekolah yang kebetulan tidak jauh dari rumah mereka di daerah Lingkar Selatan Bandung. Menurut Wenda, mereka sebenarnya berencana untuk berjalan-jalan ke Ciwalk untuk "ngabuburit". Namun rencana tinggal rencana. Wenda mendapati Dewi keluar dari kamar mandi sambil menggigil kedinginan, padahal hari itu panas luar biasa. Menyangka bahwa istrinya hanya masuk angin karena mandi air dingin, Wenda pun tidak terlalu kuatir dan hanya membalur punggung istrinya dengan minyak angin, dan memijatnya sedikit. Namun keadaan Dewi tidak lah semakin baik, malah sebaliknya. Tubuhnya semakin dingin, dan napasnya mulai tampak sesak. Pada pukul 14.30, Wenda akhirnya berusaha membawa istrinya ke Bidan dekat rumahnya, yang kemudian karena melihat kondisi Dewi, merujuknya ke rumah sakit terdekat, RS Muhammadiyah.

Dengan pikiran tidak menentu, Wenda pada pukul 20.25 malam membawa istrinya bergegas ke RS Muhammadyah. Ketika dokter piket disana memeriksa keadaan Dewi, mereka langsung memerintahkan agar Dewi segera masuk ruang ICU (Gawat Darurat). Wenda semakin panik.
Keadaan Dewi semakin menurun. Pukul 4 pagi, napasnya mulai sesak kembali. Dan badannya bertambah menggigil.


"Aa, ulah kamana-mana nya, upami tiasa Aa ngantosan Dewi di dieu, ulah kaluar.." ("Aa jangan kemana-mana ya, kalo bisa Aa menemani Dewi disini, jangan kemana-mana"), demikian permintaan Dewi pada Wenda sambil menangis menahan sakit. "Fachry mana A ?" tanya Dewi, sambil berusaha bangkit mencari anaknya semata wayang. "Ada Wi, ada di luar, nggak boleh masuk sama dokter.." jawab Wenda.
"Atos we, ayeuna mah Dewi istirahat, supados enggal damang..hawatos Fachry..." ucap Wenda lemah, tidak kuasa melihat keadaan istrinya.

Rabu 4 Oktober 2006, pada jam 8.15, keadaan Dewi berangsur pulih. Hingga jam 12.00 keadaanya membaik, suhu tubuh sudah mulai menurun, dan nafaspun mulai membaik. Melihat keadaan ini pada pukul 14.10 siang, Wenda memutuskan untuk pulang sejenak untuk beristirahat, karena sejak kemaren ia terus menerus menunggui Dewi di ruang ICU.

Namun ternyata Alloh SWT mempunyai rencana lain. Sekitar pukul 14.30 Kakak tertua Dewi menelpon Wenda agar sesegera mungkin balik ke rumah sakit. Perasaan Wenda semakin tidak karuan. Dan ternyata apa yang dikhawatirkannya beralasan. Ketika ia sampai di RS Muhammadyah, Dewi telah pulang ke Rakhmatullah. Menurut informasi yang berhasil di dapat, sekitar pukul 14.15 Dewi batuk-batuk dan kemudian muntah darah, dan langsung tidak sadarkan diri.

Menurut pemeriksaan Dokter, ternyata Dewi mengalami pembengkakan pankreas yang sudah akut. Suatu penyakit yang tidak terdeteksi sebelumnya, karena Dewi - menurut Wenda- tidak pernah mengeluh sakit.

Dewi meninggal pada hari Rabu 4 Oktober 2006, bertepatan dengan tanggal 12 Ramadhan 1427 Hijirah. Innalillahi Wa Innailahi Rojiun. Segala yang ada di dunia ini adalah kepunyaan Allah, dan hanya kepada Allah lah kita sekalian akan kembali. Menurut beberapa ustadz, meninggal pada bulan suci Ramadhan adalah suatu pertanda baik. Karena meninggal pada bulan suci adalah berarti ampunan dari Allah SWT. Dan ditutupnya pintu2 neraka, dan dibuka ya lebar2 pintu Surga.

Masih teringat ketika kami terakhir bertemu Dewi. Saat itu tanggal 3 September 2006. Dewi, Wenda dan Fachry datang ke rumah kami. Kebetulan pada saat itu kami sekeluarga akan berangkat ke JJS ke Ciwalk. Berhubung mereka belum pernah ke Ciwalk, maka kami berusaha memaksa mereka untuk ikut. "itung2 ngajak maen anak-anak, biar si Fachry maen dan lari2 bareng Mas dan Adek..(Radya dan Alva, anak kami).

Disana kami berfoto-foto, karena entah kenapa pula, pada hari itu tidak biasanya saya membawa kamera digital ke Ciwalk. Sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Suatu pertanda ? Entahlah....karena sebulan kemudian tepat tanggal 4 Oktober, Dewi meninggalkan kami selama-lamanya.......

Selamat jalan Dewi....kami semua kehilangan dirimu. Selamat jalan Ibu yang baik. Semoga Alloh SWT menempatkan dirimu di sisi-Nya, si Surga Jannatun Na'im.


No comments: